top of page

"Cawe-Cawe" Bikin Politisi Muda Memble



Ketua Bidang Pemilih Pemula dan Milenial DPP NasDem, Lathifa Marina Al Anshori, B.Sc., MA, menyoroti isu pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan tidak akan bersikap netral dalam gelaran Pilpres 2024 mendatang.


“Jadi, hari Senin 25 Mei (awal pekan) ini, dalam sebuah pertemuan dg pemred-pemred media, beliau billing kalau tidak akan netral dalam Pilpres 2024. Beliau pun akan cawe2 “demi Kepentingan Nasional”,” kata Lathifa dalam cuitannya di Twitter, Rabu (31/5/2023).


Mengutip Kompas, cawe-cawe yang dimaksud Jokowi, masih dalam koridor aturan dan tidak akan melanggar undang-undang.


"Saya tidak akan melanggar aturan, tidak akan melanggar undang-undang," kata Jokowi saat bertemu dengan para pemimpin redaksi media massa nasional di Istana, Jakarta, Senin (29/5/2023) sore.

Benarkah demikian? Sarjana Ilmu Politik dan Administrasi Publik dari Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik, Universitas Kairo, Mesir itu mempunyai pandangan sendiri terkait “cawe-cawe” yang dimaksud oleh Jokowi dalam pernyataannya. Menurutnya, “cawe-cawe artinya adalah ikut membantu mengerjakan, membereskan, juga merampungkan.”


Dalam arti lain, Lathifa melanjutkan, beliau dapat ikut mempengaruhi warga untuk memilih kandidat yg di-endorse, hingga mengerjakan sesuatu agar kandidat capres lainnya tidak terpilih (bahkan mungkin tidak maju).

“Di satu sisi, beruntunglah orang yang mendapatkan endorse langsung dari Pak Jokowi,” kata Lathifa.

Dia meyakini, sesuatu yang mendapat endorse dari Presiden Jokowi itu punya arti besar dalam pemilihan presiden. Misalnya pada produk-produk UMKM yang dipakai Jokowi akan laku keras.


Itu pun tidak dipromosikan langsung langsung, artinya tidak diucapkan Jokowi secara langsung, namun punya dampak besar pada penjualan. Lalu, apa jadinya jika Jokowi meng-endorse secara langsung?


“Oh hellooo-endorse dari presiden, bok! UMKM dipake jaketnya sama presiden aja laku keras, apalagi kalau didukung nyata-nyata,” cuitnya.


Lathifa menyayangkan sikap Jokowi itu, lantaran tidak semua orang punya privilage untuk mendapatkan dukungan. Misalnya, para politisi muda yang baru saja bergelut di dunia politik dan belum punya banyak dukungan, sedangkan punya kualitas yang bagus.


“Di sisi lain, ini tidak adil bagi mereka yang tak punya sumber kekuatan yang sama,” ungkap mantan jurnalis Timur Tengah itu menyayangkan.


Selanjutnya, Lathifa mengatakan bahwa sebelumnya Jokowi membantah akan ikut campur secara langsung pada pemilu mendatang, dan membiar urusan politik ke masing-masing parpol.


“3 minggu lalu, pada 4 Mei, awalnya Pak Jokowi membantah kalau tidak akan campur tangan, menyatakan kalau itu urusan partai ataupun koalisi partai," kata dia.


Namun, baru-baru ini Presiden berubah pikiran dan menyatakan secara tegas akan “cawe-cawe”. Lathifa mencurigai bahwa Jokowi tidak bisa menyalurkan aspirasinya ke partainya sendiri.


“Lalu, apa yang membuat itu berubah? Apakah dalam 3 minggu ini, beliau mendapatkan sinyal kalau tak bisa menyalurkan aspirasinya ke partai sendiri ya? Jadi malah melangkah sendiri untuk cawe-cawe sendiri ke masyarakat,” kata dia.


Lathifa menilai, Presiden Jokowi punya pengaruh besar di masyarakat lantaran tingkat kepuasan masyarakat tinggi, yakni di atas 70 persen.


“Tingkat kepuasan masyarakat kepada presiden memang di atas 70%, sih. Jadi kemampuan presiden mempengaruhi Pemilih juga saaangat besar,” tuturnya.


Peraih gelar Master of Arts in Conflict Resolution dari University of Massachusetts Boston, Amerika Serikat, pun merasa miris dengan sikap Jokowi tersebut, lantaran banyak tokoh-tokoh politik muda yang baru mulai berjuang, namun tak punya bekal dukungan dari tokoh besar lewat endorsment.


“Lalu aku terpikir, bgmn nasibnya anak-anak muda yg berjuang di politik, tanpa sokongan endosement seorang tokoh besar? Di mana generasi Milenial & Z skrg dituntut untuk berjuang meraih mimpi dengan mandiri,” katanya menyayangkan.


Menurutnya, mayoritas anak muda yang mau berkiprah membangun bangsa lewat jalur politik tidak punya koneksi politik, sedangkan mereka selalu dituntut untuk bertindak mandiri dalam berpolitik.


“Mayoritas anak muda di Indonesia tidak datang dari lingkungan yang “berkoneksi” politik. Hidup menuntut generasi ini utk berdikari supaya sukses. Lalu harus langsung berhadapan dg rival yang punya endorse? Sakitnya tuh di sini di depan mata kita sendiri,” pungkasnya.
87 tampilan0 komentar
bottom of page