top of page

Islam, Politik dan Militerisme Dalam Perspektif Gender



Prof. Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. hadir sebagai pembicara dalam Bahtsul Kutub Daras Kitab Al-Ahkāmu ‘Sulthāniyyah karya Al-Mawardi. Pada Ramadan bersama Partai NasDem sesi kelima, para peserta mendapatkan banyak wawasan seputar Islam, politik dan militerisme dalam perspektif gender dari Prof. Ruhaini yang merupakan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Dalam Kajian Kitab Al-Ahkamu ‘Sulthaniyah yang digelar oleh Panglima Itam Library of NasDem bersama Bidang Kaderisasi dan Pendidikan Politik DPP Partai NasDem, Prof. Ruhaini menerangkan bagaimana militerisme dikonsepkan oleh Al Mawardi dalam bukunya, dan dikaitkan dengan perspektif gender. Menurutnya, seorang panglima atau pemimpin harus memiliki sikap tegas, namun pada sisi yang bersamaan juga harus memiliki kelembutan.


“Pemimpin atau panglima itu di satu sisi harus tegas, tetapi pada satu sisi yang lain juga harus lembut. Karena panglima juga mendapatkan mandat atas nama sultan untuk melakukan perdamaian,” kata Prof. Ruhaini.

Prof. Ruhaini menilai hal tersebut (sifat panglima tegas dan juga lembut) masih sangat relevan di saat ini. Menurutnya, konsep tersebut belum banyak dibahas dalam bahasan fiqih bahwa panglima itu harus memiliki sifat yang biner, artinya memiliki sifat-sifat positif dari feminin dan juga maskulin.


“Yang harus dikedepankan oleh seorang panglima perang adalah rasa-rasa yang cenderung feminin seperti empati. Kemudian juga menahan diri pada saat itu bisa dilakukan diplomasi, karenanya perang fisik itu adalah pilihan terakhir. Itu yang tersirat dalam tulisan Al Mawardi ini pada saat harus ada perdamaian,” sambungnya.


Menurut Prof. Ruhaini, karakter militerisme dalam Islam adalah defend atau perdamaian, tidak agresif tetapi mempertahankan mereka yang tertindas. Maka baginya, akar dari militerisme di dalam Islam itu sebetulnya adalah how to defend bagaimana untuk mempertahankan.


“Perang itu harus menang, tetapi melakukan perdamaian itu harus win-win solution. Artinya di pihak kita 50 di pihak sana juga 50, dan itu saya kira masih menjadi satu hal yang sangat relevan, dan ini sebetulnya justru menjadi dasar dari konsep berperang dalam Islam,” lanjutnya.

Prof. Ruhaini mencontohkan adanya perkembangan luar biasa dari demokrasi dan dunia pendidikan saat ini, bahwa di bawah PBB banyak sekali negara-negara di dunia yang mengerem agar tidak masuk ke dalam peperangan seperti pada perang dunia kedua silam. Meskipun saat ini terdapat beberapa riak-riak kecil seperti yang melibatkan Rusia dan Ukraina.


“Mengedepankan diplomasi-diplomasi dan itulah sebetulnya posisinya sangat penting. Dalam perspektif gender, justru panglima itu adalah seorang sosok yang dapat menahan diri. Sebab militer Islam itu adalah berbasis perdamaian yang relevan sampai sekarang ini di dalam mekanisme multilateral yang berjalan,” ungkap Prof. Ruhaini.


Baginya kini harus ditegaskan kembali akar dari tata kehidupan Islam itu sendiri yakni ‘damai.’ Islam sendiri adalah damai, walaupun di situ ada unsur militerisme namun karakteristiknya damai. Menurutnya saat ini juga dibutuhkan kapasitas dari feminin maupun maskulin yang keduanya dibutuhkan secara biner.


“Dari perpektif gender, apabila kita ingin melihat korelasinya dapat kembali merujuk langsung ke dalam asmaul husna. Di dalam asmaul husna, semua sifat itu ada di dalam Allah. Apakah Allah itu tegas tapi di masa yang sama ada yaa latif, jadi sebetulnya asmaul husna itu mendekonstruksi ideologi kebangsaan,” tuturnya.

Ditambahkan dia dengan karakteristik manusia kontemporer itu dapat mengambil semua hal yang bersifat positif yang baik-baik dari sifat maskulin maupun feminin. Prof. Ruhaini pun membedakan jenis kelamin dan gender, dimana jenis kelamin akan terus menetap dari lahir hingga ke liang lahat karena bersifat kodrati, tetapi kalau gender bisa berubah tergantung bagaimana sosialisasi dan tantangan di zamannya.


“Atribut gender itu menjadi sesuatu yang lebih cair, politik pun akan seperti itu. Jadi tidak masalah siapa yang akan memimpin dalam politik, apakah dia laki-laki atau perempuan. Mereka harus memiliki sifat-sifat gender yang konstruktif maskulin yang positif dan feminimnya juga yang positif, seperti asmaul husna,” pungkasnya.

Turut hadir dalam acara kali ini A. Effendy Choirie alias Gus Choi dan Ketua Koordinasi Bidang Kebijakan Publik & Isu Strategis DPP Partai NasDem, Suyoto dan Inna Habibah selaku moderator.



Sumber: nasdem.id





6 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page