top of page

Covid 19: Musibah atau Azab?



Situasi pandemi Covid-19 selama sekian bulan ini telah memberikan dampak yang luar biasa besar. Tidak hanya berpengaruh kepada sendi-sendi tatanan ekonomi, tapi juga mengikis seluruh pola kehidupan sosial. Ada satu kesamaan di antara kita apapun agamanya, bahwa pandemi ini adalah kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Pandemi yang tak kunjung henti dan tidak tahu kapan akan berhenti ini pada akhirnya memunculkan pemikiran, apakah situasi yang kita semua alami saat ini merupakan musibah atau azab?

Dari sisi positifnya, situasi pandemi Covid-19 ini memaksa kita untuk menggerakkan hati, melakukan koreksi diri perihal bagaimana memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhannya. Sebagai seorang muslim, dalam Al Quran, Allah Swt. telah memperingatkan kepada kita semua tentang adanya musibah sebagai cobaan atau ujian. Di antaranya adalah surat Al Anbiya ayat 3 yang artinya,

“Tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar-benarnya dan hanya kepada kami lah kamu dikembalikan.”

Masih banyak firman Allah Swt di dalam Al Quran tentang peringatan akan datangnya musibah sebagai sebuah ujian. Lalu dalam Al Quran, Allah Swt juga memberikan petunjuk kepada seorang muslim tentang bagaimana cara menghadapi ujian berupa musibah yang datang kepadanya. Dalam surat Al Imron ayat 200, surat Muhammad ayat 31, surat An-Nahl ayat 96 dan lainnya terdapat benang merah perihal cara menghadapi musibah yakni dengan “sabar”.


Ketua Bidang Agama dan Masyarakat Adat H. Hasan Aminuddin memberikan sambutan.

Pada penggalan surat Al Baqarah ayat 153, firman Allah menegaskan bahwa sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang bersabar. Sejarah sederhana tentang sabar sebagai bentuk jalan keluar menghadapi pandemi ini, yang pertama adalah bagi orang yang berilmu hendaknya bersabar untuk menyampaikan keilmuannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menciptakan rasa damai, sehingga tidak menimbulkan perdebatan, gagal paham bahkan menimbulkan kebingungan dan lebih yang lebih fatal yakni mengakibatkan kepanikan di tengah masyarakat.


Menurut seorang filsuf bernama Ibnu Sina, kepanikan adalah separuh penyakit dari ketenangan dan kesabaran adalah permulaan dari kesembuhan. Sabar yang kedua adalah bagi orang-orang yang sampai saat ini belum percaya tentang pandemi Corona atau Covid-19. Mereka diminta untuk bersabar dengan tidak mempengaruhi masyarakat lainnya, baik dengan cara penyampaian narasi yang tidak berdasar keilmuan atau dengan cara mempertontonkan pengabaian protokol kesehatan. Kepada golongan yang tidak mempercayai pandemi Covid-19, minimal bersabarlah menghargai sebuah ikhtiar orang lain.


Sabar yang ketiga adalah bagi orang yang mempercayai bahwa pandemi Covid 19 ini. Golongan ini diharapkan untuk dapat terus memberi suntikan motivasi, tidak hanya kepada dirinya sendiri dan keluarga, tetapi juga terhadap lingkungan dan masyarakat untuk terus menerapkan segala bentuk ikhtiar protokol kesehatan.


Sikap sabar benar-benar dapat kita tanamkan pada seluruh perilaku dalam menghadapi pandemi di iringi upaya kita menerapkan protocol kesehatan yang menjadi paripurna. Maka selanjutnya kita tinggal memasrahkan diri kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa.


Seminar Nasional ini diharapkan dapat memberi sebuah solusi dan dapat memotivasi agar bangsa kita lepas dari belenggu pandemi yang belum kita tahu pasti kapan berakhirnya. Pandemi covid 19 seakan memang tidak ada berujung. Segala daya upaya sudah kita lakukan untuk menekan angka penyebaran virus ini, namun angka penyebaran justru semakin tinggi dengan wilayah yang terdampak semakin luas. Lantas bagaimana cara kita dalam menanggapi pandemi ini? Bagaimana cara menyikapinya ? Terutama jika di hati dan pikiran saat ini terbesit pertanyaan besar perihal “Pandemi Covid-19 ini sebuah musibah atau azab?”


Dua orang narasumber ternama yakni Prof KH Nazaruddin Umar dan Alissa Wahid mengupas pertanyaan pandemi Covid-19 ini sebuah musibah atau azab secara spesifik. Keduanya memberi pandangan tentang situasi pandemi Covid-19 ini dari sisi Islam. Sebagaimana tujuan dari penyelenggaraan seminar nasional ini yang salah satunya adalah menyoroti pengaruh narasi positif dan negatif yang beredar di tengah masyarakat terkait pandemi Covid-19.

Alissa Wahid, putri dari Presiden RI ke 4, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Gerakan Suluh Kebangsaan adalah seorang psikolog yang aktif dalam gerakan ketangguhan keluarga terutama bagi masyarakat muslim. Melalui Nahdlatul Ulama atau NU, Alissa Wahid dikenal aktif kerjanya dalam isu demokrasi dan keberagaman melalui jaringan Gusdurian Indonesia yang didirikannya pada tahun 2011 untuk merawat warisan perjuangan Gus Dur. Alissa Wahid juga memimpin dan terlibat dalam berbagai inisiatif akar rumput.



Alissa Wahid tidak ingin memandang pertanyaan perihal pandemi Covid-19 ini sebagai musibah atau azab sebagai hal yang simple dan sederhana. Menurut Alissa, dalam memandang dan menjawab pertanyaan tersebut diperlukan konteks yang lebih jauh. Karena menentukan situasi pandemi ini baik sebagai sebuah musibah atau azab, ada dampak besar yang dapat ditimbulkan karenanya.


Jika ingin menjawabnya secara gamblang, Alissa dengan tegas mengatakan pandemi Covid-19 ini adalah sebuah musibah. Menurutnya, sudah banyak ulama dan tokoh Islam yang menyatakan bahwa situasi pandemi saat ini adalah sebuah musibah untuk semua umat, semua manusia di dunia. Prof Dr H Quraish Shihab adalah salah satunya. Beliau memandang bahwasanya pandemi Covid 19 bukanlah azab tapi peringatan dari Allah. Alissa juga mengutip pernyataan dari KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus yang mengatakan, bahwa Allah menurunkan pandemi Covid-19 ini untuk mengingatkan kita adalah saudara sesama manusia. Kita diingatkan bahwa kita juga tidak hanya saudara sesama bangsa, tidak hanya sesama agama, melainkan sesama keturunan Adam AS.


Pandemi ini adalah peringatan. Bahkan peringatan ini berlaku secara umum kepada semua semesta. Tidak hanya orang Indonesia. Pandemi Covid-19 ini adalah wabah kemanusiaan. Tidak memandang apakah ia kyai, apakah ia santri, semuanya dapat terkena dampaknya. Pandemi ini tidak memandang dokter ataupun mantra, tidak memandang perempuan maupun laki-laki, tidak memandang orang intelektual atau orang biasa, hingga tidak memandang penguasa atau rakyat jelata. Semua yang namanya manusia saat ini menghadapi ujian dari Allah Swt.

Dari karakter dan situasinya saja sudah terlihat bahwa pandemi ini dapat menyerang siapapun tanpa terkecuali. Maka kita tidak punya alasan untuk menyebut ini sebagai sebuah azab atau siksaan, karena siksaan itu hanya mengenai satu kelompok dan tidak akan mengenai semua orang. Alissa mencatat bahwa beberapa jumlah ulama NU dan tokoh NU yang wafat karena Covid-19 cukup banyak. Para ulama dan tokoh senior NU bagi Alissa adalah guru. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah Aliisa ragukan perihal kedekatannya dengan Allah swt yang sehari-harinya tidak pernah melewatkan waktu tanpa berdzikir. Azab tidak akan ditimpakan kepada umat yang meyakini adanya Allah swt, sehingga diyakini bahwa pandemi Covid-19 ini adalah sebuah musibah. Musibah ini harus kita hadapi, karena ini adalah ujian dari Allah swt. Bagaimana sikap kita dalam menghadapi musibah seeprti saat ini banyak tertuang di dalam Al quran sebagai berikut :


“Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barangsiapa beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” QS At-Taghabun ayat 11
“Musibah apapun yang menimpa kamu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak dari kesalahan kesalahanmu,” QS Asy-Syura ayat 30.

“Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan kelaparan kekurangan harta jiwa dan buah-buahan dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-nya lah kami kembali," QS Al-Baqarah ayat 155-156.

Banyak sekali ayat dalam Al Quran yang memberi memberikan pembekalan dan peringatan kepada kita umat manusia bahwa akan ada ujian untuk kita. Alissa kembali mengutip pernyataan dari Prof Dr H Quraish Shihab bahwa jenis ujian dari Allah Swt. itu ada dua. Ujian yang pertama bersifat hal yang menyenangkan. Contohnya seperti harta, kekuasaan, popularitas itu adalah ujian yang menyenangkan. Lalu yang kedua adalah ujian yang sifatnya memberatkan. Dalam pandangan pribadinya, Alissa menuturkan bahwa diantara sekian banyak ujian memberatkan bagi dirinya semasa hidup terjadi saat ayahnya berada di Istana Negara.


Satu hal lainnya yang dirasa paling memberatkan adalah saat sang ayah yakni Gus Dur wafat. Kepergian Gus Dur membuat kehidupan Alissa berbelok hingga 180 derajat. Berat karena pada akhirnya ia harus mengemban tanggung jawab yang diantaranya harus mengurus Gusdurian yang tersebar di ratusan kota.



Pandemi ini adalah musibah. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita harus melangkah setelah kita tahu ini ujian dan musibah buat kita?


Alissa menyoroti saat ini ada banyak yang melontarkan narasi bahwa pandemi Covid-19 ini adalah musibah. Namun baginya yang menyebut bahwa keadaan yang terjadi saat ini merupakan azab juga tidak sedikit. Pernyataan musibah atau azab menentukan mental model atau paradigma atau cara pandang bangsa dan ini adalah musibah atau azab adalah sebuah pemaknaan, semuanya hanya pemaknaan belaka. Jadi pertanyaannya adalah makna seperti apa dan mengapa ada makna seperti itu?


Pemaknaan musibah dan juga azab itu sangat dekat dengan sebuah hadist yang pastinya telah diketahui oleh sebagian besar umat islam. Allah berfirman dalam hadist riwayat Al-Hakim :

“Wahai hambaku, aku sesuai prasangka kamu kepadaku dan aku bersamamu jika engkau ingat kepadaku” (HR Al Hakim)


Kalau kita menganggap Allah itu jauh, maka Allah akan jauh dari kita. Kalau kita menganggapnya dekat, maka Allah pun akan dekat. Kalau kita menganggap Allah itu kejam, Allah pasti akan kejam terhadap kita. Tetapi kalau kita menganggap Allah itu maha besar dan penuh rahmat, maka hal baik pasti akan datang kepada kita semua. Maka menentukan pandemi ini musibah ataupun azab itu adalah persoalan pemaknaan belaka. Namun sedihnya, dampak dari pemaknaan itu dapat menyebar kemana-mana. Alissa mengutip sebuah narasi yang dilontarkan oleh seseorang yang dikenal sebagai pemuka agama di negeri ini yang menyebut bahwa :

“Corona adalah 1 tentara diantara tentara-tentara Allah, karena itu jangan takut dengan Corona, takutlah hanya kepada Allah, jangan pernah tinggalkan masjid Apapun Yang terjadi. Karena justru dalam kondisi seperti saat ini, kita harus semakin dekat dengan masjid. Mari kita makmurkan dan ramaikan masjid”.


Narasi yang dilontarkan oleh seseorang yang memiliki cukup banyak pengikut atau jamaah tersebut sangat disayangkan oleh Alissa. Narasi tersebut menurutnya dapat menyebabkan terjadinya kerumunan yang besar secara terus menerus. Narasi “Jangan takut dengan korona” menurut Alissa dapat membuat banyak orang mengabaikan protocol kesehatan. Ia sangat setuju dengan Narasi “Takutlah hanya kepada Allah,” namun menurutnya narasi itu menjadi aneh jika pada akhirnya disambungkan dengan narasi “jangan takut dengan korona”. Mengapa demikian? Karena ketika sebuah narasi dikemas sedemikian rupa, maka orang-orang kemudian dapat menjadi binary di kepalanya.


Narasi yang terkesan berasal dari salah tafsir seperti itu pada akhirnya membuat pandemi ini jadi tidak dapat selesai di dalam kehidupan kita khususnya di Indonesia. Alissa kembali mengutip pernyataan dari KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam pidatonya saat menghadiri tahlil akbar secara online beberapa waktu silam untuk mendoakan para ulama dan juga tentunya para tenaga medis yang wafat dalam masa pandemi Covid-19,

“Kita diingatkan oleh Allah Swt. dengan sangat keras sekali bahwa kita kemarin itu tidak terjarak, terlalu tidak berjarak dengan dunia yang sebetulnya diminta untuk berjarak dengan dunia yang sedang-sedang saja tapi kita terlalu rapat tidak berjalan dengan dunia akhirnya kita berjarak dengan keluarga kita berjarak dengan saudara kita dan terutama berjarak dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala kini saatnya kita diminta untuk belajar dengan dunia untuk melatih diri agar merapat dengan keluarga pertama merapat dengan Allah Swt.”

Banyak sekali mutiara dari apa yang disampaikan oleh Gus Mus tersebut, salah satunya bahwa pandemi Covid-19 ini adalah peringatan untuk kita para manusia, khususnya umat islam. Selama ini kita terlalu memberi jarak dengan hal-hal yang sifatnya duniawi , namun dengan keluarga kita justru menjadi berjarak, dengan saudara kita berjarak karena politik, kita terpecah belah karena perbedaan ideologi, kita saling menyerang satu sama lain, sentimen kebencian di mana-mana dan yang paling utama adalah kita menjauh dari Allah Swt. Ritual keagamaan di Indonesia semakin meningkat, tetapi nilai ilahiyah justru semakin menjauh. Pandemi ini menurut Gus Mus adalah momentum bagi kita untuk berjarak dengan dunia, untuk melatih diri agar merapat dengan keluarga dan dengan Allah swt.


Coba kita bayangkan dan bandingkan narasi Gus Mus dengan narasi yang mengandung unsur provokatif sebelumnya. Sangat berbeda sekali. Mengapa ? karena narasi Itu adalah ide pikiran yang keluar dari sebuah keyakinan. Bagaimana kita menyikapi apa yang ada dalam kitab, apa yang ada di depan kita, akan menjadi dasar dari pilihan yang kita buat.


Nonton video lengkapnya di sini.


Oleh karenanya menurut Alissa, suatu kelompok atau golongan yang punya agenda khusus pasti akan membuat narasi yang memperkuat sebuah keyakinan yang mereka yakini, tidak peduli benar atau salah. Terutama keyakinan yang sedang mereka promosikan. Ada banyak yang mengkaitkan virus corona dengan khilafah. Apa hubungannya? Alissa mengambil dari website muslimahnews.com milik gerakan sayap perempuan kawan-kawan HTI. Khilafah dan corona apa hubungannya? Hubungannya adalah perihal paradigma kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Mereka menyebu bahwa negara pengekor seperti Indonesia akan sulit dalam mengambil keputusan terkait pandemi Covid-19 ini. Mereka berkeyakinan bahwa di saat pandemi seperti ini, yang dibutuhkan adalah negara khilafah. Kaum dan golongan tersebut lebih jauh mencontohkan cara Islam menangani wabah. Pemimpin yang bak seorang pahlawan penyelamat nyawa rakyat, kebijakan syari’ah, serta adopsi kemajuan sains dan teknologi. Mereka terus berkeyakinan bahwa seandainya hidup di dalam negara khilafah pasti keadaannya akan seperti demikian.


Narasi politik seperti di atas keluar dari keyakinan dasar bahwa pandemi ini adalah azab bagi bangsa yang tidak menerapkan system khilafah dalam pemerintahannya. Contoh tersebut adalah narasi kuat yang berhasil dibangun dengan sangat canggih. Sayangnya, saat ini narasi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia lebih banyak narasi yang tidak mendukung penerapan protokol kesehatan, sehingga berakibat pandemi ini semakin melonjak penyebarannya.


Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang percaya dan yakin bahwa pandemi Covid-19 ini sebetulnya adalah hal yang dibesar-besarkan saja. Kita bicara mental sosial emosional yang disampaikan oleh Gus Mus. Bahwa kita punya keluarga dan kita punya saudara. Sosial emosional ini mirip dengan acara NU yang selalu dimulai dengan Hilal Waton atau sumpah NKRI harga mati. Orang NU bangga menjadi salah satu tulang punggung bangsa Indonesia.


Gus Mus dan Gus Dur pernah berdialog:

Gus Mus : NU itu kalau bangsa ini ada apa-apa, NU akan maju paling depa. Melawan HTI, NU maju paling depan. Nanti kalau semua sudah selesai, NU akan ditinggal di pojokan , duduk-duduk sambil nunggu ada panggilan lagi. Kita ini seperti dipanggil saat tengah diperlukan saja, seperti satpam!
Gus Dur : Apa kurang mulia NU menjadi satpamnya Indonesia?

Narasi singkat dari Gus Dur tersebut mencerminkan sosial emosional dengan mengatakan NU harus bangga jadi satpamnya Indonesia. Kita harus menghadapi musibah ini dengan terus menjadikan bertakwa kepada Allah Swt. sebagai dasar dari segalanya. Bagi orang yang bertakwa kepada Allah Swt., sudah ada janji Allah akan datangnya rezeki dan jalan keluar dari arah yang tidak disangka-sangka.


“Barangsiapa bertakwa kepada Allah Swt., Allah akan membukakan jalan keluar baginya dan dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusannya, sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap waktu," QS At Thalaq ayat 2 dan 3.

Jadi kalau kita menganggap pandemi ini adalah musibah, maka yang diminta dari kita adalah bertakwa kepada Allah Swt. agar dibukakan jalan keluar untuk kita. Kalau soal kesehatan maka serahkan kepada ahli kesehatan. Kalau soal kebijakan harus diserahkan kepada pemerintah. Pandemi Covid-19 ini adalah wabah kemanusiaan. Maka harus ditanggulangi secara bersama-sama. Gus Mus berkata bahwa bertawakkal dalam hal ini adalah menyerahkan kepada ahlinya untuk memikirkan caranya, lalu kita mengupayakannya. Itulah arti dari tawakkal. Karena hukum Allah itu sifatnya nya penuh dengan keseimbangan dan itu ada pada Qada dan Qadar. Qada adalah ketentuan dari Allah yang tidak bisa diubah. Contohnya, kalau kita makan terus maka kita akan gemuk. Itu adalah sebuah Qada. Sunatullah semesta ini berjalan dengan sunnatullah atau hukum Allah. Contoh lainnya adalah kalau kita lempar apapun ke atas maka akan jatuh ke bawah, itu hukum gravitasi. Itu adalah sunatullah. Apapun yang di lempar keatas tidak akan mungkin tidak jatuhke bawah, kecuali melakukan suatu rekayasa seperti pesawat terbang yang tidak akan jatuh kebawah jika dikendari oleh pilot.

Begitu juga dalam mencerna pandemi ini. Ada hal-hal yang sifatnya sunatullah. Bahwa orang kalau sampai paru-parunya penuh dan tidak bisa diselamatkan, maka dia akan mati. karena itu di segala kondisi seperti saat ini, penting bagi kita melakukan pencegahan dengan menerapkan protokol kesehatan. Memakai masker, menjaga jarak aman dan cuci tangan adalah upaya nyata kita untuk memohon atau merayu Allah supaya kita diberi takdir untuk sehat dan panjang umur.


Oleh karenanya, Alissa mohon sekali kepada para politisi, khususnya dari Partai NasDem. Kalian adalah orang-orang yang berpengaruh di konstituen dan di daerahnya baik di DPR, DPRD dan DPD. Kalian adalah pemimpin yang akan bisa mempengaruhi warga masyarakat Indonesia. Maka dari itu, narasi seperti apa yang akan kalian sampaikan kepada masyarakat? Apakah kalian akan berdiam diri saja di tengah kondisi maish banyaknya warga dan masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan? Atau kalian akan menggunakan kekuatan, kelebihan dan kemuliaan kalian semua untuk kemaslahatan bersama? Ingatlah selalu pesan dari Gus Dur, bahwa setiap keputusan atau kebijakan suatu pemimpin seharusnya adalah untuk kemaslahatan rakyatnya.

Pemaparan dan pandangan dari Alissa Wahid kemudian disempurnakan lebih mendalam, khususnya dari tafsir Al Quran oleh Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar. Beliau adalah Imam besar Masjid Istiqlal sejak tahun 2016 hingga sekarang. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama Republik Indonesia periode 2011 hingga 2014. Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar juga merupakan guru besar Ilmu Tafsir di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Alquran. Ia juga telah menulis lebih dari 20 judul buku. Pada tahun 2014 pula, beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama, penghargaan tertinggi dari Presiden RI.


Dalam memandang persoalan narasi “Covid-19, Musibah atau Azab?” Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar membahas hal-hal yang sangat spesifik terkait dengan bidang keilmuannya mengenai Ilmu Tafsir Al Quran. Beliau memulai dengan memparkan ketiga jenis malapetaka yang dapat diturunkan oleh Allah kepada manusia, yakni Azab, Musibah dan Bala. Ketiganya memiliki pengertian yang berbeda. Yang pertama adalah hal yang sering kita mohon supaya dijauhkan yakni azab. Azab adalah siksaan yang ditimpakan oleh Allah swt kepada orang kafir, tapi tidak ditujukan atau ditimpakan kepada orang yang beriman kepadanya. Yang kedua, yakni Musibah adala sebuah malapetaka yang ditimpakan oleh Allah swt kepada orang beriman dan juga orang kafir. Lalu yang ketiga adalah Bala. Bala bersifat kepada mekanikal yakni sebab akibat.

Contohnya ada seseorang yang ceroboh naik motor sehingga akhirnya menabrak tiang listrik dan terjadilah kecelakaan yang merenggut nyawanya.


Kita kembali ke Azab. Sekali lagi, malapetaka yang pertama ini hanya ditimpakan kepada orang kafir yang tidak beriman kepada Allah. Kita bersyukur menjadi umat Nabi Muhammad, karena kita dipastikan tidak akan terkena azab seperti umat nabi sebelum Nabi Muhammad. Pembelajaran teknis tentang azab mudahnya dapat diketahui dari berbagai kisah nabi dan rasul yang sejak kecil mungkin sering kita baca dan dengar. Kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh AS misalnya. Banjir besar yang terjadi di zaman Nabi Nuh AS hanya berdampak kepada orang kafir. Umat Nabi Nuh yang beriman kepada Allah Swt. selamat dari banjir besar karena berada di atas bahtera yang dibangun oleh Nabi Nuh AS di puncak gunung. Sayangnya, istri dan anak Nabi Nuh termasuk kedalam golongan orang kafir yang tidak beriman kepada Allah, sehingga menjadi korban dari azab banjir besar yang diturunkan oleh Allah.

Contoh lainnya ada pada kisah Nabi Shaleh AS. Ketika itu Nabi Shaleh AS diuji oleh seorang raja. Ia diminta untuk membuktikan kebenaran bahwa dirinya adalah seorang nabi dengan cara diharuskan mampu mengeluarkan seekor unta dari lubang kecil di tanah. Singkat cerita atas izin Allah maka muncullah seekor unta dari sebuah lubang kecil. Setelah berhasil Nabi Shaleh justru disebut sebagai tukang sihir yang hebat. Maka unta tersebut disembelih dan dijadikan sate oleh raja dan para orang kafir lainnya.


Setelahnya, azab yang pedih pun menimpa orang-orang yang memakan daging unta tersebut. Pada hari pertama, semua yang makan sate unta itu mukanya berubah menjadi berwarna kuning. Hari kedua wajah orang-orang itu berubah warna menjadi merah. Lalu pada hari ketiga berubah kembali, kali ini menjadi berwarna hitam pekat. Di hari ketiga itu pula orang-orang yang memakan sate unta tersebut mendengar suara gemuruh yang menggelegar dari langit, dan seketika matilah mereka dengan bergelimpangan. Dua kisah nabi diatas adalah contoh azab yang hanya ditimpakan kepada orang kafir. Orang beriman tidak akan menerimanya.


Contoh lainnya perihal azab yang mungkin paling dekat dengan masa Nabi Muhammad saw adalah kisah yang tertuang dalam surat al-fill. Raja Abraham dari Yaman saat itu hendak memindahkan Ka'bah dari Mekkah. Sang raja berharap dengan memindahkan Ka'bah Ke Yaman, maka pusat perekonomian dan pusat wisata di Yaman akan menjadi nomor satu dan negara Yaman pun akan semakin kaya karenanya. Sayangnya, belum sempat Raja Abraham dan pasukannya memindahkan Ka’bah, hujan batu neraka yang dilemparkan oleh burung Ababil lebih dahulu memusnahkan orang-orang kafir tersebut. Namun atas kuasa Allah swt, orang-orang beriman yang ada disekitar Ka’bah termasuk kakek dari Nabi Muhammad SAW. yakni Abdul Muthalib tidak terkena hujan batu panas tersebut sama sekali. Itulah azab Allah swt, memusnahkan orang kafir dan menyelamatkan orang beriman.


Dalam suatu hadist diriwayatkan perihal permintaan Rasulullah kepada Allah Swt. Yang pertama yaitu Rasulllah memohon kepada Allah untuk tidak menimpakan azab kepada umatnya seperti yang telah ditimpakan kepada umat nabi sebelum dirinya. Lalu yang kedua adalah jangan biarkan umatnya menghilang atau punah hingga akhir zaman tiba nanti. Maka tidak ada lagi azab setelah Nabi Muhammad saw memohon kepada Allah swt. Oleh karenanya, apa yang terjadi saat ini, pandemi yang melanda dunia termasuk negeri ini adalah sebuah musibah karena menyerang baik orang beriman maupun kafir.

Contoh nyata musibah yang juga menyerang orang islam dan beriman ada pada gelombang tsunami yang menimpa Aceh tahun 2004 silam. Tsunami saat itu tidak hanya menyerang orang kafir, melainkan juga orang Islam didalamnya. Justru kebanyakan korban yang meninggal adalah orang Islam warga asli Aceh. Bencana alam tsunami Aceh itu adalah musibah sebagai pembelajaran dari Allah Swt.

Lalu, ada juga bala. Bala mungkin tepat menggambarkan seseorang yang mendapat sebuah keadaan karena melanggar sesuatu. Di masa pandemi seperti saat ini, banyak orang yang belum patuh saat diminta memakai masker. Akibatnya adalah wajar kalau dia akhirnya terpapar virus corona setelah berpergian keluar rumah tanpa memakai masker. Itulah bala yakni malapetaka bersifat sebab akibat.


Kita harus senantiasa berpegang teguh kepada kaidah hukum agama, terlebih di situasi pandemi seperti saat ini. Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar menuturkan bahwa sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal banyak pihak yang mendesaknya untuk menggelar peribadatan di Masjid Istiqlal, khususnya saat memasuki bulan Ramadhan lalu. Ia banyak didesak untuk mengizinkan adanya kegiatan peribadatan selama bulan Ramadhan, dari mulai sholat tarawih hingga sholat Idul Fitri. Akan tetapi dengan tegas desakan tersebut ditolaknya. Ia tiada hentinya menyatakan bahwa pelarangan kegiatan ibadah di masjid penuh sejarah itu bukanlah tanpa alasan yang kuat. Selain karena faktor pandemi Covid-19, Masjid Istiqlal saat itu juga tengah melakukan renovasi besar-besaran secara keseluruhan. Kondisi Masjid saat itu penuh dengan debu proyek yang berbahaya bagi kesehatan jamaah. Serta tidak adanya ketersediaan lahan parkir karena masih dalam tahap pembangunan.


Lebih jauh Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar mengatakan bahwa ia tidak merasa ada kewajiban dan urgensi dalam menggelar kegiatan ibadah di bulan Ramadhan yang umumnya bersifat sunnah. Seperti misalnya sholat tarawih dan sholat Idul Adha yang hukumnya adalah sunnah dan dapat dilakukan dimana saja, termasuk di rumah masing-masing. Bagi Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar, sholat ke masjid di tengah pandemi seperti saat ini adalah sunnah. Mengapa? Karena yang menjadi wajib di saat ada serangan wabah adalah mempertahankan kesehatan diri dan kesehatan keluarga. Beragama yang benar adalah dengan cara mengedepankan yang wajib baru yang sunnah. Jika ada pihak atau golongan yang memaksakan mendahulukan sunnah daripada wajibnya, sesungguhnya itu adalah sesat.



Menolak bahaya itu lebih diutamakan daripada mengejar manfaat. Sunnah pergi ke masjid memang banyak pahalanya. Namun sebagus dan sebanyak apapun pahalanya, sunnah tidak akan pernah mengalahkan yang wajib. Wajib hukumnya mempertahankan kesehatan, bukan hanya pada diri sendiri tapi juga keluarga. Kalian bisa membayangkan jika memaksakan pergi shalat Tarawih, Idul Fitri dan juga Idul Adha. Bagi yang masih berusia muda, daya tahan tubuhnya kemungkinan besar bagus dan kuat. Tapi ketika pulang ke rumah, seseorang tersebut dapat menyetor penyakit kepada kedua orang tuanya secara tidak sadar. Akhirnya? Orang tuanya yang sudah berumur tidak mampu menahan penyakit karena kekebalan tubuh sudah jauh menurun seiring usia yang kian menua. Bersyukurlah jika kedua orangtuanya masih hidup. Namun seandainya sampai meninggal? Artinya orang tersebut telah berbuat egois dalam beragama. Kita memaksakan diri mengejar pahala namun menyebabkan orang tua kita celaka. Perbuatan seperti itu bukanlah cara beragama yang baik.


Apa yang telah disampaikan oleh Alissa Wahid perihal sebaik-baiknya perbuatan adalah yang lebih banyak maslahat ketimbang mudaratnya. Segala sesuatu yang mendatangkan mudharat itu harus ditinggalkan. Dari sekian banyaknya narasi menyesatkan yang beredar terkait beribadah di masa pandemi, Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar paling menyesalkan narasi yang menyebut “Jika kita beribadah ke masjid di tengah wabah lalu kemudian meninggal itu adalah syahid”. Menurutnya narasi tersebut adalah bentuk penyesatan umat.


Yang dimaksud mati syahid dalam islam adalah dimana kita telah berusaha sekuat tenaga menghindar, dan melakukan upaya pencegahan maksimum lainnya namun akhirnya kita bertemu juga dengan musibah dan kemudian meninggal karenanya, maka itulah syahid yang sebenarnya.


Ia mencontohkan para syuhada yang pergi berperang di zaman nabi Muhammad SAW. Mereka pergi berperang memakai baju besi, termasuk nabi Muhammad SAW. Mereka berlatih bela diri sebelum memulai perang. Strategi perangnya pun dirancang sedemikian matang. Gizi para prajurit diperhatikan dengan baik. Lalu di tengah malam menjelang perang esok paginya, mereka melaksanakan shalat tahajud bersama. Mereka meminta keselamatan kepada Allah selama melakukan perang membela agama Allah. Kondisi seperti Itulah jihad yang akhirnya akan membuat seseorang syahid. Jihad adalah kombinasi antara akal dan fisik. Bukanlah sebuah jihad Kalau hanya mengandalkan fisik tapi tidak masuk akal, apalagi tidak masuk di hati. Jika kondisinya demkian maka istilah yang tepat adalah mati nekat. Perumpaan persiapan perang di zaman nabi Muhammad saw tersebut dapat direfleksikan dengan keadaan kita yang tengah berjuang melawan virus corona. Kita wajib lakukan pencegahan semaksimal mungkin. Jika pada akhirnya kita tetap terkena virus dan akhirnya meninggal dunia, maka itulah syahid yang sesungguhnya.


Terkait pandemi Covid-19 yang hingga kini belum usai. Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar menyoroti pentingnya pemerintah untuk dapat menciptakan suatu narasi yang baik. Ia menilai narasi yang dilemparkan pemerintah hingga saat ini sangat perlu dikritisi. Tujuan dari sekian banyak narasi pemerintah soal pandemi Covid-19 sejatinya bagus, namun logika penyampaiannya sangat kontraproduktif. Logika pemerintah haruslah cerdas. Namun di satu sisi semua pihak dan golongan juga harus menyamakan bahasa dan visi yang sama dalam menghadapi musibah seperti saat ini.


Penggodokan dalam penyampaian statement harus dipikirkan matang-matang. Beragama dalam kondisi yang sangat darurat seperti saat ini, kita semua dituntut untuk menguasai semua hal. Termasuk para ulama jangan hanya menguasai fiqihnya namun tidak menguasai hal lainnya termasuk soal pengetahuan umum. Karena itu bisa memberi persoalan besar di tengah masyarakat. Percayalah bahwa cara terbaik untuk memutus mata rantai virus Corona ini adalah dengan kerja sama dari seluruh komponen bangsa dan negara. Kita juga perlu menggunakan bahasa yang valid dalam menyampaikan sebuah narasi. Jika semua komponen telah bersinergi, maka itu akan lahir suatu masyarakat yang seragam dalam menghadapi Covid-19 ini. Jangan pula para ulama menggunakan narasi keagamaan untuk meng-counter narasi pemerintah.


Semua pihak saat ini diharapkan saling introspeksi diri. Pemerintah harus berhati-hati saat menciptakan suatu statement. Teman-teman yang notabene mengklaim diri sebagai ulama juga harus berhati-hati dalam menyampaikan statement keagamaannya. Karena dalam menyampaikan ajaran kepada umat Islam, tentu kita juga perlu data-data yang kuat dan valid. Janganlah kita beragama dengan pendekatan yang terlalu deduktif-kualitatif, tetapi menafikan kuantitatif-induktif. Ulama di Indonesia saat ini menurut Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar masih sedikit sekali yang mau mengadopsi pendekatan induktif-kuantitatif. Masih teramat banyak yang terlalu menggunakan deduktif-kualitatif, sehingga seakan mereka tidak berpijak di bumi melainkan hanya berpijak di di langit, padahal kita semua saat ini masih tinggal di bumi.



Apresiasi yang sangat istimewa diberikan Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar kepada Partai NasDem karena menjadi satu-satunya partai yang berani dan sangat jelas dalam memberikan proposal untuk melakukan webinar kebangsaan seperti ini. NasDem telah memberikan satu hal yang istimewa kepada umat dan bangsa Indonesia dengan menghadirkan webinar kebangsaan ini, yakni “pencerahan”.


Webinar nasional ini diselenggarakan atas kerja sama Bidang Agama dan Masyarakat Adat bersama Bidang Pemilih Pemula dan Milenial DPP Partai NasDem.

115 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page