Seiring berjalannya waktu, perubahan sosial dan perkembangan masyarakat telah membawa perempuan lebih dekat ke garis depan perjuangan politik dan peran mereka dalam pemerintahan semakin menguat.
Dalam konteks politik, emansipasi perempuan mencakup hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, serta hak untuk menduduki posisi politik yang penting.
Keterwakilan perempuan dalam politik dan negara adalah salah satu indikator utama kemajuan menuju kesetaraan gender. Untuk itu, upaya dalam meningkatkan partisipasi perempuan di dalam ruang-ruang politik membutuhkan dukungan semua pihak.
Dalam laporan Riset State of The World’s Girls Report (SOTWG) yang dipublikasikan oleh Plan Indonesia pada awal tahun ini, disebutkan bahwa sebanyak 9 dari 10 perempuan percaya bahwa partisipasi politik itu penting. Keterwakilan perempuan dalam politik membawa manfaat yang signifikan bagi masyarakat dan negara.
Pertama, diversifikasi dalam pengambilan keputusan politik membawa perspektif yang lebih beragam ke dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat menghasilkan kebijakan yang lebih holistik dan memperhitungkan kebutuhan seluruh masyarakat.
Kedua, keterwakilan perempuan di politik juga menjadi contoh dan inspirasi bagi perempuan muda, mendorong mereka untuk berperan aktif dalam kehidupan politik dan masyarakat.
Namun para perempuan itu juga mengakui adanya berbagai hambatan dalam proses partisipasi tersebut. Mereka menjumpai hambatan-hambatan yang bersifat interseksional dan struktural. Hambatan itu lahir karena usia dan gender yang dianggap belum dewasa serta berbagai stereotipe yang berkembang di masyarakat.
Fakta di atas menunjukkan bahwa perjalanan menuju emansipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik tidak datang tanpa hambatan. Budaya patriarki yang masih dominan di banyak negara, stereotip gender, dan diskriminasi masih menjadi tantangan utama. Perempuan sering kali dihadapkan pada ekspektasi sosial yang berat, terutama dalam menggabungkan karier politik dengan peran tradisional sebagai ibu dan pengasuh keluarga.
Selain itu, ada masalah terkait dengan akses perempuan ke sumber daya politik, seperti pendanaan kampanye yang cukup, pelatihan politik, dan jaringan politik yang kuat. Untuk mengatasi hambatan ini, dukungan dari masyarakat, partai politik, dan pemerintah sangat penting.
Bila kita mengambil refleksi dari hasil Pemilu 2019 lalu, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8% atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Persentase keterwakilan perempuan tersebut masih di bawah angka persyaratan 30% jumlah calon legislatif perempuan pada saat parpol mendaftar menjadi peserta pemilu.
Data tersebut antara lain menyibak kompleksitas tantangan yang dihadapi kaum perempuan bilamana ingin terjun secara aktif di ruang-ruang strategis, yang melibatkan peran dan suara perempuan. Selain itu, kultur sebagian masyarakat Indonesia masih sulit mengikis anggapan atau persepsi masyarakat terkait bagaimana seharusnya perempuan berkegiatan di masyarakat.
Dalam kancah dunia internasional, perempuan telah memainkan peran yang semakin besar dalam politik dan pemerintahan. Mereka telah menduduki posisi-posisi tinggi seperti kepala negara, perdana menteri, menteri, dan anggota parlemen. Contoh-contoh seperti Angela Merkel (mantan Kanselir Jerman), Jacinda Ardern (Perdana Menteri Selandia Baru), dan Kamala Harris (Wakil Presiden Amerika Serikat) menunjukkan bagaimana perempuan bisa memimpin dengan kebijaksanaan dan efektivitas.
Dalam era globalisasi dan tuntutan akan kesetaraan yang semakin tinggi, emansipasi perempuan dan keterwakilan mereka dalam politik dan negara bukan hanya masalah hak asasi manusia, tetapi juga strategi kebijakan yang bijak. Negara-negara yang mendorong kesetaraan gender dalam politik dan pemerintahan cenderung lebih stabil, berkelanjutan, dan lebih mampu mengatasi berbagai tantangan sosial dan ekonomi.
Comments