Dalam Forum diskusi virtual bersama para pakar dan pengambil kebijakan dengan tema “Peta Jalan Indonesia Digital 2024: Arah dan Kebijakan,” Lathifa Al Anshori, selaku Ketua DPP Partai NasDem, Bidang Pemilih Pemula dan Milenial memaparkan pandangannya tentang generasi milenial & generasi Z, dalam sudut pandang partai politik, di tengah gelombang digitalisasi yang kian tak tertahankan. Bagi Lathifa, percepatan agenda transformasi digital di Indonesia lebih cepat dari perkiraan. Pada tahun 2018, diprediksi bahwa transformasi digital di Indonesia baru akan terjadi di tahun 2027. Namun segala keterbatasan yang terjadi akibat pandemi Covid-19 yang melanda di awal tahun 2020 silam, membuat transformasi digital berjalan lebih cepat di negeri ini.
Telah berjalannya transformasi digital di Indonesia saat ini dikatakan Lathifa juga telah memunculkan harapan dan rasa optimis yang besar, untuk memajukan generasi muda Indonesia di era digital. Salah satu indikatornya adalah data yang menyebutkan bahwa komposisi penduduk muda Indonesia saat ini adalah digital native.
“Perkembangan yang sudah berlangsung selama ini, khususnya dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir di pemerintahan presiden Jokowi periode ke-2, sangat terlihat bagaimana generasi milenial dan Z betul-betul menjadi penggerak roda perekonomian sebagai konsumen. Meskipun memang dalam kurun waktu tersebut, yang memberikan tools dan kebijakan masih di tangan orang-orang yang tergolong senior, ataupun milenial yang telah punya banyak pengalaman, dan bahkan sudah membuka lapangan pekerjaan, dan produknya telah bisa dinikmati oleh milenial dan generasi Z saat ini.” Kata Lathifa.
Lathifa secara khusus juga menyoroti perihal manifestasi politik identitas, dan bagaimana penduduk muda Indonesia khususnya generasi milenial dan Z saat ini telah di identifikasikan dalam sebuah cluster yang berbeda. Lathifa membandingkan kondisi yang terjadi saat ini dengan waktu dimana dirinya pertama kali terjun ke ranah politik 9 tahun silam. Ia menuturkan bahwa meskipun saat itu dirinya terjun ke ranah politik di usia yang terbilang sangatlah muda, realitanya ia sebatas hanya dikatakan sebagai bagian dari orang di “segmen muda” pada saat itu.
Lathifa menuturkan bahwa istilah dan identitas sebagai milenial dan Z kepada anak muda sejatinya baru dimulai saat memasuki tahun 2015. Dunia bisnis kala itu menurutnya telah memunculkan segmentasi baru yang tidak ada sebelumnya kepada anak-anak muda. Tujuannya tidak lain adalah untuk lebih mendekati anak muda guna melakukan pemasaran, agar produk mereka laku terjual. Hal tersebut sejatinya juga berlaku dan disadari oleh badan pemerintahan dan juga partai-partai politik, termasuk NasDem tentunya. Hingga akhirnya, pada tahun 2017 barulah istilah segmen milenial dan Z dikenal luas, dan melekat kepada para anak muda.
“Ketika masuk dunia politik di tahun 2011/2012, ketika itu tentu saya berusia milenial, namun saat itu tidak banyak orang yang mengatakan bahwa orang seperti saya ini adalah generasi yang penting untuk diperhatikan di masa itu. Namun saya juga seringkali menjumpai realita bahwa ada cukup banyak anak muda yang tidak mau disebut milenial. Akan tetapi mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus mau mengakui dan menerimanya untuk secara otomatis menjadi bagian di era tersebut.” Imbuh Lathifa.
Tanpa disadari, pandemi Covid 19 yang melanda sejak tahun 2020 hingga saat ini, telah memunculkan banyak sekali organisasi baru, baik di bawah tanah, maupun di atas meja, dengan membawa nama-nama dari kalangan milenial. Mereka (anak-anak muda) telah memiliki identitas baru untuk melakukan pergerakan. Saat ini semakin banyak anak muda yang ingin tampil, bergerak dan memberi impact yang positif. Bentuknya pun ada banyak sekali, mulai dari yayasan, perkumpulan, hingga organisasi kemahasiswaan.
Pada tahun 2024 mendatang, khususnya saat gelaran pemilu serentak, generasi Z diprediksi akan menjadi generasi yang banyak hadir untuk mewarnai kancah politik di tahun 2024. Oleh karenanya, Lathifa mengingatkan agar nantinya jangan ada yang merasa heran, jika partai politik termasuk Partai NasDem menghadirkan banyak calon anggota dewan yang berasal dari generasi Z. Hal tersebut bukanlah tanpa sebab, karena nantinya di tahun 2024 sudah ada banyak generasi Z yang dapat mencalonkan diri, mengingat banyak diantara mereka yang telah memasuki usia minimum untuk mencalonkan diri, yakni 21 tahun.
“Generasi muda saat ini baik milenial dan Z akan membawa banyak sekali hal-hal baru dan berbeda kepada para senior nya di partai politik, dan juga kepada dunia digital di Indonesia. Hadirnya digitalisasi saat ini juga akan memberi gambaran dan arah terkait bagaimana kita akan menghadapi gelaran pemilu berikutnya di 2024, 2029 dan seterusnya. Arus digitalisasi tidak akan bisa dihentikan.” kata Lathifa.
Persoalan fintech untuk anak muda dari sudut pandang partai politik juga harus mendapat perhatian serius, karena menurut Lathifa hal tersebut akan erat kaitannya dengan regenerasi dalam perpolitikan di Indonesia. Lathifa menyebut, ada sebuah ketakutan besar yang melanda anak muda saat ingin masuk dan terjun di partai politik. Mereka umumnya merasa khawatir, apabila nantinya saat bekerja, baik di swasta ataupun pemerintahan, dapat terkena masalah terkait pilihan partai politiknya tersebut.
Tidak sedikit dari mereka (generasi milenial dan Z) yang sudah masuk partai politik, kemudian memilih jalan sebagai pengusaha juga merasa khawatir dan takut mendapat hambatan dalam mendapatkan modal usaha dari perbankan. Jika hal ini dibiarkan, maka banyak anak muda saat ini akan kehilangan minat untuk masuk ke kancah perpolitikan.
“Anak muda yang aktif di partai politik mendapat sebuah pengkategorian khusus oleh dunia perbankan yakni PEP atau Political Exposed Person. Hal tersebut menyulitkan anak muda yang aktif dalam partai politik untuk mengajukan kredit usaha di bank. Sebabnya, mereka yang dilabeli sebagai PEP dinilai tidak pantas untuk mendapatkan bantuan di sektor finansial termasuk kredit usaha didalamnya.” Ujar Lathifa.
Lathifa juga memandang bahwa digitalisasi juga nantinya akan mengarahkan semakin familiarnya pemanfaatan teknologi digital di gelaran pemilu, salah satunya adalah penggunaan tanda tangan digital. Penggunaan tanda tangan digital saat ini memang telah cukup banyak digunakan dalam berbagai kepentingan. Penggunaan tanda tangan digital hanyalah satu dari sekian banyak hal yang mungkin akan terjadi ketika digitalisasi telah masuk dan diterapkan dalam gelaran pemilu.
“Dengan semakin dinamisnya kehidupan karena digitalisasi, maka anak-anak muda yang nantinya akan menjadi peserta mayoritas di gelaran pemilu mendatang pun akan mengharapkan adanya cara termudah untuk menyalurkan suaranya tanpa harus repot-repot datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Bagi saya ini adalah challenge bagi kita semua dalam menghadapi proses pemilu dengan mengikuti transformasi digital yang tidak bisa kita tahan lagi.” Pungkas Lathifa.
Anak-anak muda akan terus berkembang menjadi orang-orang yang mengendarai peta perpolitikan bangsa ini kedepannya. Mereka pastinya akan selalu menantikan dan meminta banyak hal kepada partai politik, untuk melakukan banyak hal dengan memanfaatkan kecanggihan yang dapat digitalisasi tawarkan.
Comments