top of page
lambe nasdem

Tantangan Pendidikan Indonesia, Ratih: Ekonomi Paling Dominan Sebabkan Anak Putus Sekolah


Fenomena putus sekolah anak-anak Indonesia sudah berlangsung sejak lama meski pemerintah Indonesia telah mengundang-undangkan Program Wajib Belajar 12 tahun. Rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia masih di angka 8 tahun, bahkan di beberapa daerah lebih rendah lagi, yakni 7 tahun.


Hal itu antara lain disampaikan oleh Ratih Megasari Singkarru, M.Sc., Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR RI, dalam Forum Diskusi Denpasar 12 edisi 150 yang diselenggarakan secara daring pada Rabu (7/6/2023).


Ratih Megasari memaparkan bahwa persentase tingkat putus sekolah berbeda-beda di pelbagai jenjang pendidikan. Merujuk data dari BPS tahun 2022, terdapat satu per seribu (1/1000) siswa putus sekolah di jenjang SD, lalu 10 dari 1.000 siswa putus sekolah di jenjang SMP, dan 13 dari 1.000 siswa yang putus sekolah di SMA atau SMK.


Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi NasDem itu menekankan bahwa tingkat terendah dari partisipasi sekolah menurut kelompok umur diduduki oleh anak-anak usia 16-18 tahun. Partisipasi mereka untuk belajar di jenjang SMA dan SMK hanya mencapai 73 persen. Angka ini lebih rendah dari anak-anak usia 7-12 tahun (99 persen) dan anak-anak usia 16-18 tahun (95 persen.

“Ini harus menjadi perhatian kita karena partisipasi mereka rendah sekali,” ujar Ratih Megasari.

Menurut Ratih, terdapat banyak faktor yang menyebabkan anak-anak Indonesia putus sekolah. Salah satunya dan paling utama adalah masalah ekonomi dan keuangan. Meskipun sekolah negeri menyediakan pendidikan gratis, namun masih ada beban keuangan yang harus dipenuhi, apalagi sekolah swasta, terutama yang memiliki reputasi elit.


Selain itu, kondisi ekonomi keluarga kadang memaksa anak-anak mencari nafkah pada usia di mana seharusnya mereka bersekolah. Ratih melihat hal ini terjadi di dapilnya sendiri, di mana sebagian besar anak yang putus sekolah berasal dari keluarga nelayan dan petani, sehingga mereka terpaksa meninggalkan sekolah untuk membantu keluarga bekerja.


Alasan selanjutnya adalah kapasitas daya tampung sekolah negeri masih belum memadai. Jenjang SMA dan SMK tidak menampung lebih dari 50 persen lulusan SMP. Kehadiran sekolah swasta sangat membantu untuk mereka yang ingin melanjutkan pendidikan jenjang pendidikan berikutnya tetapi hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga terutama dari aspek ekonomi.


Faktor lain yang tidak dapat dikesampingkan, menurut Ratih adalah faktor geografis. Di beberapa wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah, dan domisili masyarakat yang berpencar, anak-anak kesulitan untuk melanjutkan pendidikan dan ketersediaan guru juga sulit karena pemerintah daerah belum punya anggaran untuk itu.

“Jika tidak ada sekolah di wilayah terdekat, harus ada biaya tambahan yang harus disiapkan orang tua setiap hari,” terangnya.

Selain itu, wabah Covid-19, pengangguran orang tua karena diberhentikan kerja, jarak sekolah yang jauh tanpa akses smartphone, rendahnya kesadaran orang tua, nikah muda atau hamil di luar nikah, bullying, dan kecanduan game juga turut berkontribusi menyebabkan anak-anak putus sekolah.


Ratih Megasari menjelaskan anak-anak putus sekolah akan terpaksa ikut membantu keluarga mencari nafkah di usia di mana mereka seharusnya duduk di bangku sekolah. Selain itu, mereka akan rentan terlibat dalam kejahatan dan kriminalitas karena terseret pergaulan. Lalu dalam dunia kerja, mereka yang putus sekolah dan tidak punya ijazah akan kesulitan mendapatkan gaji yang layak sebab di Indonesia, ijazah masih menjadi tolok ukur dan standar penerimaan karyawan dengan gaji yang layak.

“Akan sangat sulit bagi anak putus sekolah untuk keluar dari rantai kemiskinan jika tidak punya ijazah,” terang Ratih.

Ratih menilai, pemerintah terus berupaya untuk mengatasi kendala ini dalam menciptakan layanan pendidikan yang berkeadilan. seperti sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di mana secara perlahan menghilangkan status sekolah favorit, kemudian bantuan finansial yang digaungkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi seperti Program Indonesia Pintar (PIP) yang mampu menunjang pembelajaran pendidikan.


Menurut Ratih, meski pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan program pendidikan wajib belajar 12 tahun, namun partisipasi masyarakat juga penting untuk membantu menyukseskannya. Selain itu, dia melihat mayoritas anggaran pendidikan di pemerintah daerah dialokasikan untuk gaji guru dan sedikit ruang dari anggaran itu untuk membenahi kualitas pendidikan baik untuk kebutuhan sarana prasarana sekolah maupun akses layanan pendidikan.


Dalam penutupnya, Ratih Megasari berharap dengan semakin terintegritasnya data antar kementerian, terkait data sosial kependudukan dan peserta didik, pemerintah sudah bisa cepat dan mudah dalam mengidentifikasi anak-anak yang rentan terhalang dari melanjutkan pendidikan. Dengan identifikasi, bantuan sosial yang diberikan bisa menunjang anak-anak agar terus duduk di bangku sekolah.

“Implementasi dan keberhasilan program Wajib Belajar 12 tahun serta penanganan anak putus sekolah sangat penting untuk memberikan layanan pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Dengan berhasilnya program-program pemerintah yang telah dikucurkan diharapkan dapat memperluas pemerataan pendidikan dan mewujudkan keadilan sosial di bidang pendidikan sehingga itu dapat mengurangi kesenjangan capaian pendidikan di tingkat menengah antar kelompok masyarakat,” pungkasnya.

Forum Diskusi Denpasar 12 merupakan diskusi setiap hari Rabu yang digagas oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah, Dr. Lestari Moerdijat, S.S., M.M. serta dihadiri para pemangku kepentingan baik pemerintah, para akademisi, para tokoh dan seluruh elemen masyarakat.


Diskusi itu juga menghadirkan narasumber Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph.D. (Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek RI) dan Dr. Jejen Musfah, MA (Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), serta penanggap Halili Hasan (Direktur Riset Setara Institute), Indrastuti (Wartawan Media Indonesia Bidang Pendidikan) dan Ahmad Baidhowi AR (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa).



19 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page